Kamis, 22 Januari 2009

Manusia dan Bukit

Pada suatu seketika Syaikh Idris mengajak keempat murid kesayangannya pergi kesuatu tempat bertadabur. Keempat murid kesayangannya itu adalah Bahtiar, Hasan, Imam, dan Nuruddin alias Bujang.

“kita beristirahat disini!” ujar syaikh Idris lalu duduk disebuah batu besar. Keempat muridnyapun duduk dihadapannya.
“murid-muridku, apa kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain?” Tanya syaikh Idris tenang.
“akal, guru”, jawab keempat muridnya serentak
“akal. Tetapi hanya manusia yang mempergunakan akalnya saja yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain,” ujar syaikh Idris sambil menghembuskan napas panjang, lalu bertanya
“menurut kalian, siapa yang lebih tinggi diantara manusia dan bukit itu?”
“tentu saja bukit itu, guru,” jawab Bahtiar, Hasan, dan Imam.
“apa alasan kalian mengatakan hal itu?” Tanya syaikh Idris dengan penuh wibawa
“maaf guru. Tinggi badan manusia hanyalah satu atau dua meter saja, sedangkan tinggi bukit itu bisa ribuan meter. Hal ini sudah jelas menunjukkan bahwa bukit itu lebih tinggi dari manusia,” jawab Bahtiar
“jadi itu pendapatmu, Bahtiar. Bagaimana dengan kalian Hasan dan Imam?” Tanya syaikh idris
“kami sependapat dengan Bahtiar, guru.”

Syaikh Idris mengangguk-anggukkan kepalanya setelah mendengar jawaban ketiga muridnya itu. Kemudian sang syaikh berpaling kearah Bujang yang sedang duduk sambil menundukkan kepalanya.

“hai Bujang. Apa pendapatmu?” Tanya syaikh Idris
“Maaf, tuan guru. Saya belum mempunyai pendapat saat ini. Tetapi jika kita bisa mendaki bukit itu, insya Allah saya mempunyai pendapat,” ujar bujang dengan tenang
“baiklah kita mendaki bukit itu,” ujar syaikh Idris lalu berjalan kearah bukit disertai oleh keempat murid kesayangannya.

Ternyata kekuatan fisik sang syaikh jauh lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan fisik keempat muridnya itu. Sehingga syaikh yang sudah sangat tua itu dapat berjalan dengan cepat seakan tidak membawa beban tubuhnya. Akibatnya keempat murinya masih jauh tertinggal di belakang ketika sang syaikh telah mencapai puncak bukit.

“Subhanallah. Pemandangan diatas bukit ini sangat indah. Mana saudara-saudaramu yang lain?” Tanya syaikh idris kepada bujang yang baru menjejakkan kakinya di puncak bukit.
“Itu mereka, tuan guru,” ujar bujang sambil menunjuk ke arah ketiga saudara seperguruannya.
“Maaf, kami terlambat guru,” ujar Bahtiar mewakili dua temannya ketika sampai di puncak bukit.
“Alhamdulilla, kita semua sudah berada di puncak bukit. Bujang, apa yang kau rasakan setelah berada di ketinggian ini ?” Tanya Syaikh Idris sambil menatap pemandangan yang ada di depannya.
“Tuan guru. Jika saya melihat pemandangan di bawahku dan langit biru di atasku, maka saya merasa sangat kecil dan rendah di hadapan Allah yang menciptakan keduanya,” jawab Bujang.
“Bujang, apa pendapatmu mengenai pertanyaan guru di bawah tadi ?” Tanya Bahtiar tiba-tiba.
“Kau boleh menyampaikan pendapatmu, Bujang,“ ujar Syaikh Idris ketika melihat bujang berpaling kepadanya.
“Ketika kita berada di bawah, aku sependapat dengan pendapat kalian. Tetapi, setelah kita berada di atasnya, apakah bukit ini masih tinggi daripada kita ?”Tanya Bujang.

Bahtiar, Hasan dan Imam sangat terkejut mendengar pertanyaan Bujang. Apalagi mereka semua mengetahui jawaban atas semua pertanyaan itu adalah bahwa bukit ini sekarang lebih rendah dari mereka. Namun, Syaikh Idris justru tersenyum mendengar pertanyaan bujang itu. Pasalnya, pertanyaan itu menunjukkan bahwa Bujang ternyata lebih dapat mempergunakan akalnya dibandingkan saudara-saudara seperguruannya yang lain.

Sumber: Harlis Kurniawan, S.S.
“Melatih berpikir kritis & berani 1”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar